- Januari 13, 2025
Sudah 12 Tahun Tidak Ada Pembelian Gabah, Petani Merauke Harapkan Bulog Serap Gabah Hasil Petani

MERAUKE—Menjelang panen tahun ini, petani Papua Selatan berharap Bulog bisa melakukan serap gabah hasil petani. Hal ini diungkapkan Aceng Sumarlin, Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Usaha Maju, Kampung Ngguti Bob, Distrik Tanah Miring, Kabupaten Merauke, Minggu, 12 Januari 2025.
Menurutnya di Papua Selatan selama ini tidak ada pembelian gabah. Para petani menjual hasil produksinya dalam bentuk beras ke penggilingan padi (RMU). “Kita petani itu giling beras di RMU, nanti RMU beli beras, beli menir dan dedak. Jadi belum ada yang beli gabah di Papua Selatan ini,” ucapnya.
Pembelian hasil petani dalam bentuk gabah sebenarnya pernah dilakukan Bulog, namun tidak berlanjut. ’Dulu, tahun berapa itu, Bulog pernah membeli gabah kering panen dengan harga Rp 3.500, tahun-tahun itu. Tapi tidak lama tidak ada lagi, entah apa masalahnya. Sampai sekarang itu sudah hampir 12 tahun lah, tidak ada yang beli gabah,” papar Aceng.
Padahal, menurut Aceng, para petani sangat berharap hasil panennya dapat diserap dalam bentuk gabah. Hal itu bisa memberi keuntungan kepada petani karena bisa mempersingkat waktu untuk tanam. Penjualan hasil panen dalam bentuk beras di penggilingan padi, membuat petani tidak bisa langsung tanam, tapi harus menjemur dan mengolah padinya untuk siap digiling.
Di penggilingan padi atau RMU (Rice Miilling Unit), papar Aceng, beras dibeli dengan harga antara Rp 10.000 – Rp 11.000, tergantung kualitasnya yang dilihat dari banyaknya jumlah beras patah dan warnanya. Namun, karena terbatasnya jumlah dryer, sebagian besar petani masih mengeringkan padinya secara manual yang menyebabkan kualitas beras yang dihasilkannya masih rendah.
“Begitu panen banyak, dryer itu tidak mampu menampung hasil dari petani. Akhirnya dijemur dengan alam, kadang seminggu sampai 10 hari baru kering. Kan hasilnya tidak sama dengan menggunakan dryer, hasilnya bisa standar. Itulah yang mengakibatkan kualitas beras kurang bagus. Petani jual itu kadang di harga Rp10.000-10.500,” tutur Aceng.
Selain memerlukan waktu untuk mengolah padi, pembayaran yang dilakukan RMU kepada petani juga memerlukan waktu. Padahal para petani memerlukannya untuk modal tanam berikutnya. Permasalahan ini yang membuat petani di Distrik Kurik kesulitan untuk mengejar target tanam 3 kali dalam setahun. “Ya itu tunggu dikeringkan dulu, mending kalau cuaca bagus, kadang RMU juga baru 1-2 bulan dibayarkan uangnya. Itu yang jadi kendala kami untuk tanam berikutanya,” tambah petani transmigran asal Jawa Barat ini.
Sebelumnya Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Pangan telah menyampaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Kering Panen sebesar Rp 6.500 per kilogram. “Sudah diputuskan waktu pemberlakuan HPP gabah beras efektif 15 Januari,” unkap Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan.
Di Kampung Ngguti Bob sendiri menurut Aceng, hingga akhir Januari ini diperkirakan akan panen padi seluas 120 hektare dengan produktivitas rata-rata mencapai 5 ton per hektare. Ia berharap hasil panennya bisa diserap langsung dalam bentuk gabah sesuai dengan HPP sehingga pendapatan petani bisa meningkat dan bisa mengejar target tanam.
”Dengan ada serap gabah, keuntungan petani bisa meningkat karena bisa kejar tanam. Uangnya langsung bisa dipakai modal tanam. Begitu jual, bayar, langsung bisa dipakai untuk olah tanah, olah tanam. Jadi bisa kejar 3 kali tanam dalam satu tahun,” pungkasnya.